Kebencian Ulama Salaf terhadap Popularitas
Dari Habib bin Abu Tsabit diriwayatkan bahwa ia berkata: “Suatu
hari Ibnu Mas’ud keluar rumah. Tiba-tiba orang-orang mengikutinya. Beliau
kemudian bertanya: “Apakah kalian membutuhkan sesuatu?” Mereka menjawab:
“Tidak, kami hanya ingin berjalan bersamamu.” Beliau berkata: “Pulanglah, yang
demikian itu adalah kehinaan bagi yang mengikuti dan malapetaka bagi yang
diikuti(Shifatush Shafwah
I:406)
Dari seorang lelaki diriwayatkan bahwa ia berkata: “Aku pernah
melihat bekas kegundahan di wajah Abu Abdillah (yakni Imam Ahmad) yang kala itu
sedang disanjung seseorang. Orang itu bekata kepada beliau: “Semoga Allah
memberimu pahala atas jasamu terhadap Islam.” Beliau menjawab: “Justru Allah
memberi kejayaan kepada Islam karena jasanya terhadapku. Siapa dan apa
kedudukan saya?”(Siyaru
A’laamin Nubalaa’ XI:225)
Dari Muhammad bin Al-Mukandir diriwayatkan bahwa ia berkata:
“Ada sebuah tiang di masjid rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam yang biasa
kugunakan untuk shalat dan belajar di malam hari. Pada waktu itu penduduk
Madinah mengalami paceklik. Maka merekapun keluar untuk menjalankan shalat
Istisqa’. Namun hujan tidak juga turun. Pada malam harinya, seperti biasa aku
shalat ‘Isya di masjid Rasulullah Shallallahu’alaiwasallam, lalu aku mendatangi
tiang itu dan menyandarkan tibuhku disana (istirahat). tiba-tiba datang seorang
lelaki berkulit hitam kecoklat-coklatan, mengenakan kain sarung, dan pada
lehernya tergantung kainyang lebih kecil lagi. Lelaki itu kemudian mendekati
tiang di depanku, sementara (tanpa dia ketahui) aku berada di belakangnya.
Kemudian dia shalat dua raka’at lalu duduk seraya berdoa: “Wahai Rabb-ku. Para
Penduduk Madinah kota Nabi-Mu telah keluar meminta hujan, namun Engkau tidak
juga mencurahkan hujan. Kini aku bersumpah atas nama-Mu, turunkanlah hujan.
“Ibnul Mukandir bergumam: “Jangan-jangan ini orang gila.” Ia meneruskan:
“Tatkala lelaki itu meletakkan tangannya, tiba-tiba aku mendengar suaru guntur,
diikuti dengan hujan yang turun dari langit yang menyebabkan diriku
berkeinginan kembali ke rumah. Ketika ia mendengar suara hujan, ia segera
memuji Allah dengan berbagai pujian yang belum pernah kudengar yang semacam itu
sebelumnya.” Perawi melanjutkan: “Kemudian lelaki itu berkata: “Siapa saya, dan
apa kedudukan saya, sehingga doa saya terkabul. Akan tetapi aku tetap
berlindung dengan memuji diri-Mu dan berlindung dengan pertolongan-Mu.” Lalu
perawi melanjutkan: “Kemudia lelaki itu mengenakan kain yang digunakan untuk
menyelimuti tubuhnya, lalu kain yang bergantung di punggungnya ia turunkan ke
kakinya. Setelah itu ia shalat. Ia terus menjalankan shalatnya, sampai ia
merasa akan datang shubuh. Setelah itu ia melaksanakan shalat Witir dan shalat
sunnah Fajar dua raka’at. Kemudian dikumandangkan iqamat shubuh, ia turut
shalat berjama’ah bersama orang banyak. Akupun turut shalat bersamanya. Setelah
Imam mengucapkan salam, ia (lelaki hitam) segera bangkit dan keluar masjid.
Akupun mengikutinya dari belakang, hingga pintu masjid. Lalu dia mengangkat
pakaiannya dan berjalan di air yang tergenang(karena hujan). Akupun ikut
mengangkat pakaianku dan berjalan di genangan air. Namun kemudian aku
kehilangan jejak.
Pada malam selanjutnya, aku kembali shalat isya di masjid Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam, lalu aku mendatangi tiang tersebut dan berbaring di sana. Tiba-tiba lelaki itu datang lagi dan berdiri di tempat biasa. Ia menyelimuti tubuhnya dengan kain, sementara kain lainnya yang berada di punggungnya ia selempangkan di kedua kakinya, kemudian melakukan shalat. Ia terus melakukan shalat, sampai ia khawatir kalau datang waktu shubuh, baru ia melakukan Witir dan dua raka’at sunnah Fajar. Setelah itu iqamat berkumandang. Ia langsung shalat berjama’ah, akupun turut bersamanya. Ketika Imam telah mengucapkan salam, ia keluar. Aku juga keluar mengikutinya. Ia berjalan dengan cepat. Akupun mengikutinya hingga samapi ke salah satu rumah di kota Madinah yang kukenal. Akupun kembali ke masjid.
Setelah terbit matahari, dan aku tetlah menunaikan shalat (Dhuha). Aku segera keluar mendatangi rumah tersebut. Kudapati dirinya sedang duduk menjahit. Ternyata ia tukang sepatu. Ketika ia melihatku, ia segera mengenaliku. Ia berkata: “Wahai Abu Abdillah, selamat datang. Ada yang bisa kubantu? Anda ingin saya buatkan sepatu?” Aku segera duduk dan berkata: “Bukankah engkau yang menjadi temanku di malam pertama itu?” Rona wajahnya berubah menghitam dan berteriak sambil berkata: “Wahai Ibnul Munkadir, apa urusanmu dengan kejadian itu?” Perawi melanjutkan: “Lelaki itu marah dan akupun segera meninggalkannya.” Aku mengatakan: “Sekarang juga aku keluar dari tempat ini.”
Pada malam ketiga, aku kembali shalat Isya di akhir waktu di Masjid Rasulullah Shallallahu’alaiwasallam, kemudian menuju tempatku untuk berbaring. namun lelaki itu tidak kunjung datang. Ibnul Mukandir bergumam: “Inna lillahi, apa yang telah kuperbuat?” Pagi harinya, aku duduk-duduk di masjid hingga matahari terbit. Kemudian aku keluar untuk mendatangi rumah yang ditempati lelaki tersebut. Ternyata kudapati pintunya terbuka. Dan ternyata rumah itupun sudah tidak berpenghuni lagi. Pemilik rumah yang ditinggali lelaki itu bertanya kepadaku: “Wahai Abu Abdillah, apa yang terjadi antara Anda dengan dirinya kemarin?” Aku balik bertanya: “Apakah gerangan yang terjadi dengannya?” Orang-orang disitu berkata: “Ketika anda keluar dari rumahnya kemarin, lelaki itu segera membentangkan kainnya di tengah ruangan rumahnya. Kemudian ia tidak menyisakan selembar kulit ataupun sepatu. Semuanya dia letakkan dalam kainnya, lalu diangkut. Setelah itu kami tidak tahu lagi kemana lagi dia pergi.
Muhammad bin Al-Mukandir berkata: “Setiap rumah yang ada di kota Madinah yang kuketahui pasti kusinggahi untuk mencarinya. Namun aku tidak menemukannya lagi. Semoga Allah merahmatinya.(Shifatush Shafwah II:190-192)
Pada malam selanjutnya, aku kembali shalat isya di masjid Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam, lalu aku mendatangi tiang tersebut dan berbaring di sana. Tiba-tiba lelaki itu datang lagi dan berdiri di tempat biasa. Ia menyelimuti tubuhnya dengan kain, sementara kain lainnya yang berada di punggungnya ia selempangkan di kedua kakinya, kemudian melakukan shalat. Ia terus melakukan shalat, sampai ia khawatir kalau datang waktu shubuh, baru ia melakukan Witir dan dua raka’at sunnah Fajar. Setelah itu iqamat berkumandang. Ia langsung shalat berjama’ah, akupun turut bersamanya. Ketika Imam telah mengucapkan salam, ia keluar. Aku juga keluar mengikutinya. Ia berjalan dengan cepat. Akupun mengikutinya hingga samapi ke salah satu rumah di kota Madinah yang kukenal. Akupun kembali ke masjid.
Setelah terbit matahari, dan aku tetlah menunaikan shalat (Dhuha). Aku segera keluar mendatangi rumah tersebut. Kudapati dirinya sedang duduk menjahit. Ternyata ia tukang sepatu. Ketika ia melihatku, ia segera mengenaliku. Ia berkata: “Wahai Abu Abdillah, selamat datang. Ada yang bisa kubantu? Anda ingin saya buatkan sepatu?” Aku segera duduk dan berkata: “Bukankah engkau yang menjadi temanku di malam pertama itu?” Rona wajahnya berubah menghitam dan berteriak sambil berkata: “Wahai Ibnul Munkadir, apa urusanmu dengan kejadian itu?” Perawi melanjutkan: “Lelaki itu marah dan akupun segera meninggalkannya.” Aku mengatakan: “Sekarang juga aku keluar dari tempat ini.”
Pada malam ketiga, aku kembali shalat Isya di akhir waktu di Masjid Rasulullah Shallallahu’alaiwasallam, kemudian menuju tempatku untuk berbaring. namun lelaki itu tidak kunjung datang. Ibnul Mukandir bergumam: “Inna lillahi, apa yang telah kuperbuat?” Pagi harinya, aku duduk-duduk di masjid hingga matahari terbit. Kemudian aku keluar untuk mendatangi rumah yang ditempati lelaki tersebut. Ternyata kudapati pintunya terbuka. Dan ternyata rumah itupun sudah tidak berpenghuni lagi. Pemilik rumah yang ditinggali lelaki itu bertanya kepadaku: “Wahai Abu Abdillah, apa yang terjadi antara Anda dengan dirinya kemarin?” Aku balik bertanya: “Apakah gerangan yang terjadi dengannya?” Orang-orang disitu berkata: “Ketika anda keluar dari rumahnya kemarin, lelaki itu segera membentangkan kainnya di tengah ruangan rumahnya. Kemudian ia tidak menyisakan selembar kulit ataupun sepatu. Semuanya dia letakkan dalam kainnya, lalu diangkut. Setelah itu kami tidak tahu lagi kemana lagi dia pergi.
Muhammad bin Al-Mukandir berkata: “Setiap rumah yang ada di kota Madinah yang kuketahui pasti kusinggahi untuk mencarinya. Namun aku tidak menemukannya lagi. Semoga Allah merahmatinya.(Shifatush Shafwah II:190-192)
Sumber : Aina Nahnu Min Akhlaaqis Salaf, Abdul Azis bin Nashir
Al-Jalil Baha’uddien ‘Aqiel, Edisi Indonesia “Panduan Akhlak Salaf” alih
bahasa : Abu Umar Basyir Al-Medani
Sumber : http://adabislam.com
0 komentar:
Posting Komentar